TUGAS REVISI MAKALAH
PEMIKIRAN DANIEL W. BROWN “ RELEVANSI SUNNAH DI ERA MODERN”
Disusun guna memenuhi tugas UTS
Mata Kuliah : Orientalis dan Studi Hadis
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Ummu Farida, Lc., MA.




                                                                                                     
Disusun Oleh :
1.      M. Hilal Alfaydh        (1530410002)
2.      Impala Kurnia             (1530410023)


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KUDUS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM PROGRAM STUDI ILMU HADITS
TAHUN AKADEMIK 2018

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Sejak pertengahan abad kesembilan belas, para pemikir Muslim menghadapi banyak tantangan berulang terhadap gagasan Islam klasik tentang autoritas keagamaan. Pergolakan di dunia Muslim  telah mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber klasik hukum Islam karena orang Muslim telah berjuang untuk memelihara, menyesuaikan, atau mendefinisikan kembali norma-norma sosial dan hukum dalam menghadapi kondisi yang berubah. Masalah sunnah telah menjadi sisi paling penting dalam krisis Musllim modern seperti krisis autoritas keagamaan, yang mnduduki tempat sentral di dalam wacana kagamaan Muslim.
Memahami perjuangan kaum Muslim untuk mendefinisikan kedudukan sunnah adalah penting dalam memahami sepenuhnya pengalaman kaum Muslim Modern. Akan tetapi, topik ini juga memiliki relevansi universal untuk pemahaman kita mengenai bagaimana para pengikut tradisi agama-agama besar menghadapi tantangan yang muncul akibat modernitas. Cara kaum Muslim modern menghadapi krisis autoritas keagamaan mereka sendiri, yang terpusat pada sunnah, memberi kesan pengetahuan mendalam tentang masalah yang lebih luas dalam studi agama.
Dalam makalah ini adalah bahwa kaum Muslim modern, berikut para partisipan berbagai tradisi besar manusia, semuanya terlibat dalam proses memikirkan kembali tradisi mereka. Tentu saja, sebagian ada yang menyangkal memiliki hubungan dengan tradisi, dan sebagian lainnya menyangkal bahwa aktivitas dapat disebut “memikirkan kembali”, dan memilih untuk melihat hal ini sebagai kebangkitan kembali atau pemeliharaan beberapa model yang ideal dan tidak berubah.
 
B.     Rumusan Masalah
1.      Siapakah Daniel W. Brown ?
2.      Bagaimana Relevansi Sunnah pada Masa Lalu ?
3.      Bagaimana Tantangan Modern terhadap Hadis ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Daniel W. Brown
Daniel W. Brown adalah Direktur Institut for the Study of Religion in Middle East (ISRME). Ia pernah tinggal di Mesir dan Pakistan. Pada tahun 1993, Brown berhasil memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang studi Islam, dari Universitas Chicago. Ia pernah kuliah Studi Islam di Mount Holyoke College dan Smith Collage, serta masih menjadi dosen terbang di Internasional Islamic University Islamabad, the Institut of Islamic Culture Lahoe, dan Cairo University. Sampai saat ini Brown menghasilkan karya yang telah dipulikasikan, yaitu Rethingking Traditional in Modern Islamic Thought dan A New Introduction Islam.
Dalam Rethingking, Brown menjelaskan bahwa karyanya ini terinspirasi oleh salah seorang pemkir hebat asal negara Indo-Pakistan, yaitu Fazlur Rahman. Dalam bagian preface, ia mengatakan bahwa : “Studi ini mendapat inspirasi dari Fazlur Rahman, seorang sarjana pemikiran Islam modern dan merupakan salah seorang kontributor utama bagi pemikiran ulang tradisi Islam ( sunnah ) yang menjadi fokus buku ini. Kepedulian dirinya secara pribadi terhadap pertanyaan-pertanyaan terkait dengan sunnah memberikan sinyal pada saya akan pentingnya topik ini bagi muslim modern ”
B.     Relevansi Masa Lalu

Perdebatan modern mengenai kewenangan keagamaan terbentuk dari hal-hal yang orang-orang Muslim saksikan sewaktu mereka menoleh kebelakang kepada sejarah awal Islam. Akibatnya, perdebatan modern ini tidak boleh didekati dalam kekosongan sejarah, seolah-olah perdebatan tersebut menggambarkan tantangan baru dan tidak terduga terhadap gagasan tradisional mengenai kewenangan keagamaan. Masalah tradisi kaum Muslim telah menjadi kontroversi jauh sebelum mencuatnya kembali permasalahan ini pada abad kesembilan belas. Pada kenyataannya hampir tak ada elemen konsensus klasik mengenai kewenangan Rasulullah Saw, yang terbentuk tanpa perjuangan serius.
Berbagai kontroversi seputar sunnah, baik yang kuno maupun modern, harus dipandang sebagai akibat wajar yang esensial dari upaya orang Muslim untuk menyesuaikan doktrin terhadap perubahan keadaan. Karena sunnah merupakan sumber kesinambungan dengan masa lalu, taka da perselisihan ajaran, taka da kontroversi hokum, taka da pembahasan tafsir, yang dapat dilakukan tanpa merujuk kepada sunnah. Bahkan bagi mereka yang mencoba menolak kewenangan sunnah, sunnah terbukti begitu penting untuk diabaikan. Disinilah letak hubungan antara perdebatan kuno dan modern mengenai sunnah, dan pentingnya perdebatan lama bagi studi ini.[1]
Konsensus Klasik
Kebanyakan teori klasik mengenai sunnah memasukkan tiga elemen yang penting. Dalam buku pegangan hokum Islam klasik, istilah sunnah menunjuk kepada contoh autoritatif yang diberikan oleh Nabi Muhammad Saw, dan yang dicatat dalam tradisi  (hadis, akhbar) mengenai perkataannya, tindakannya, persetujuannya atas perkataan atau perbuatan orang lain, serta karakteristik (shifat) kepribadiannya. Dengan demikian,elemen pembatas pertama dalam doktrin sunnah, dalam bentuknya yang matang, merupakan identifikasi eksklusif istilah tersebut dengan Nabi Muhammad Saw.; sunnah berdasarkan pengertiannya adalah sunnah Nabi. Elemen kedua teori klasik sunnah adalah identifikasi sempurna sunnah dengan riwayat-riwayat hadis yang bisa dilacak mata rantainya hingga Nabi Muhammad Saw dan dinilai sahih; sunnah sepadan dengan tradisi autentik. Sifat pembatas sunnah yang ketiga dan terakhir adalah statusnya sebagai wahyu. Sunnah, menurut ajaran klasik, diwahyukan oleh Allah melalui perantara Rasulullah seperti halnya Al-Qur’an. Baik sunnah maupun Al-Qur’an berasal dari sumber yang satu, dan perbedaan antara keduanya hanyalah dalam bentuk, bukan dalam isi. Perbedaan kedua kelas wahyu ini adalah dalam hal bagaimana keduanya digunakan dan dalam kepastiannya. Al-Qur’an merupakan wahyu yang digunakan dan tilawah (bacaan ritual), sementara sunnah tidak (ghayr matlu). Dalam kasus Al-Qur’an baik teks maupun maknanya berasal dari Allah, dan dapat dijadikan sandaran karena meiliki kepastian yang sempurna, tetapi sunnah, susunan katanya hanyalah perkiraan, dan hanya keandalan maknanya saja yang terjamin.
Blok-blok bangunan utama consensus klasik mengenai sunnah diletakkan oleh Muhammad ibn Idris Al-Syafi’I (w. 204 H). Tampaknya Al-Syafi’I sendirilah yang terutama bertanggung jawab atas pengintegrasian blok-blok bangunan ini menjadi suatu system yurisprudensi yang saling terkait, dan secara efektif memperjuangkan pengapdosian metodenya sebagai satu-satunya pendekatan yang sah terhadap sunnah. Usahanya yang besar, dan sebagian besar berhasil, berupa identifikasi eksklusif “sunnah” dengan preseden spesifik yang digariskan Nabi Muhammad Saw., yaitu dengan tradisi autentik yang berasal dari Rasullah sendiri. Mereka yang menentangnya dalam perkara ini adalah para pengikut “mazhab” fiqih regional awal-di Hijaz, Irak, dan Suriah – yang berpegang pada definisi yang kurang ketat[2] mengenai sunnah. Mereka memasukkan didalam definisi mereka mengenai sunnah tidak hanya hadis Nabi Saw., tetapi juga berbagai sumber preseden lain, termasuk contoh yang diberikan oleh para sahabat Rasulullah, khalifah yang berkuasa, dan praktik yang telah diterima secara umum di kalangan para ahli hukum dalam mazhab tersebut. Al-Syafi’I mengarahkan sebagian besar polemiknya terhadap gagasan fleksibel sunnah sebagai kumpulan praktik yang telah diterima dalam mazhab-mazhab hukum awal, yang oleh Schacht disebut sebagai “tradisi hidup” mazhab-mazhab.
Bukti keberhasilan Al-Syafi’I dalam memperjuangkan identifikasi sunnah dengan hadis Nabi Saw. Dan dalam menegakkan superioritas sunnah atas sumber-sumber preseden lain adlah jelas : setelah Al-Syafi’I, jarang kita menemukan istilah sunnah yang digunakan untuk selain sunnah Nabi Saw. Yang shahih sebagai satu-satunya sumber sunnah yang sah hanya merupakan bagian dari upaya nya untuk menciptakan system yurisprudensi yang terpusat pada pendekatan koheren terhadap sumber-sumber hukum Islam. Melukiskan hubungan antara berbagai sumber, terutama hubungan antara Al-Qur’an dari sunnah, merupakan hal sentral dalam proyeknya. Mengenai masalah ini, Al-Syafi’I mengeluarkan tesis bahwa sunnah berdiri sejajar dengan Al-Qur’an dalam hal autoritas bahwa karena “perintah Rasullah adalah perintah Allah”.[3]
Sunnah Sebelum Al-Syafi’i
      Kata sunnah mendahului kemunculan Islam, dan terbukti kebenarannya dalam sumber-sumber pra-Islam. Gagasan pra-Islam tentang sunnah sangatlah hamper pasti diterapkan kepada Nabi Muhammad Saw, bahkan semasa beliau masih hidup. Tidaklah mungkin seorang tokoh politik atau agama terkemuka dan mulia seperti Nabi Muhammad Saw, tidak dengan secara sadar berusaha diikuti oleh para pengikutnya. Selain itu, Al-Qur’an meskipun tidak pernah menyebut sunnah al-nabi, jelas memberikan kepada Nabi Saw, status dan kewenangan khusus di kalangan orang-orang Muslim, dengan diulangnya perintah untuk mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Tiadanya penyebutan khusus di dalam Al-Qur’an mengenai sunnah padaNabi dimulai pasca Al-Qur’an , namun hal ini tidak membenarkan kesimpulan bahwa gagasan tentang Nabi Saw, sebagai teladan merupakan perkembangan dikemudian hari.[4]
Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa gagasan sunnah diterapkan pada Nabi Muhammad Saw, dan beredar pada tahap sangat awal, mungkin sepanjang hidupnya. Akan tetapi, tidak ada kekakuan mengenai pemahaman awal tentang sunnah yang kita jumpai dalam pembahasan klasik. Sejak awal, Nabi Muhammad sebagai pembawa pesan Allah telah menjadi  fokus kewenangan keagamaan. Namun, sewaktu Rasulullah tidak lagi bersama mereka, orang-orang Muslim tidaklah satu pikiran mengenai bagaimana pengganti kewenangan Nabi Saw.
B.  Tantangan Modern terhadap Hadis
      Sejak pertengahan abad kesmbilan belas, definisi autoritas Rasulullah menjadi masalah penting bagi para pemikir keagamaan Muslim. Abad kesembilan belas merupakan periode ketika hegemoni Barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama masyarakat Muslim telah menciptakan dorongan kuat diadakannya reformasi kelembagaan hukum dan sosial Islam, baik untuk mengakomodasi nilai-nilai Barat maupun untuk memulihkan kekuatan Islam. Desakan untuk dilakukannya reformasi pada gilirannya menghasilkan tekanan untuk mengkaji kembali fondasi esensial kewenangan agama di dalam Islam. Keprihatinan mengenai hadis Nabi Saw, menjadi titik pusat dalam proses pengkajian kembali ini.
      Sejumlah aspek pengalaman kolonial mendorong perhatian istimewa terhadap hadis Nabi Saw. Skripturalisme para misionaris Protestan jelas mempengaruhi cara orang Muslim memandang hubungan antara hadis dan kitab suci karena abad kesembilan belas merupakan periode aktivitas gencar para misionaris Kristen dan perdebatan antaragama. Akhir abad kesembilan belas juga merupakan periode ketika orang Muslim menghadapi munculnya tantangan dari para sarjana orientalis yang baru saja mulai bersikap kritis terhadap keautentikan literature hadis.
Namun, adalah suatu kesalahan serius kalau mnyimpulkan bahwa perhatian Muslim modern terhadap pertanyaan mengenai hadis Nabi Saw, semata-mata merupakan reaksi terhadap kolonialisme. Pola peninjauan ulang hadis sebagai alat untuk beradaptasi dengan perubahan telah tertanam baik sebelum orang-orang Muslim merasakan dampak langsung dari hegemoni Barat. Perhatian masa kini terhadap masalah autoritas Nabi Saw, berkaitan dengan kecenderungan yang telah berlangsung sebelum dirasakannya tantangan khusus dari Eropa.
Gerakan-Gerakan Reformasi Abad Kesembilan Belas
      Selama abad kedelapan belas, gagasan kaum tradisioni – bahwa sunnah seharusnya menjadi basis utama hokum Islam dan bahwa status quo hokum dapat, dan seharusnya, menjadi bahan penelitian yang cermat dengan berdasarkan hadis Nabi Saw – kembali menegaskan dirinya, kadang-kadang dengan cara yang dramatis dibanyak bagian Dunia Islam. Gagasan ini bukanlah kontribusi asli para reformis pada kedelapan belas; sepanjang periode klasik, tesis kaum tradisional ini tetap terpelihara di dalam mazhab Hanbali. Akan tetapi, para reformis abad kedelapan belas dan gerakan reformasi telah memberikan kekuatan baru pada ide-ide ini. Mereka memberikan segudang gagasan dan merintis katerogi-kategori utama respons yang digunakan kaum Muslim abad kesembilan belas dan kedua puluh ketika menghadapi tantangan baru. Terutama banyak sarjana abad kdelapan belas mengalami kesulitan akibat hal yang mereka pandang sebagai tanda-tanda kerusakan sosial dan moral di sekeliling mereka. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam mendiagnosis penyakit itu: orang Muslim telah menyimpang dari sunnah Rasul Saw, dan diracuni oleh bid’ah dan taklid terhadap ajaran kitab dan penafsiran hukum klasik. Ajaran dan praktik sufi dituduh sebagai kanker yang membahayakan. Obatnya adalah kembali kepada sumber utama, Al-Qur’an dan sunnah, guna meraih kembali semangat Nabi Saw. Dibawah bendera pmbangkitan kembali sunnah (ihya’ al-sunnah), para ulama yang berorientasi reformasi bergerak melampaui kumpulan dan penafsiran hokum klasik dan mulai mempelajari himpunan-himpunan hadis yang pertama, menyatakan hak mereka,hingga tingkat tertentu, untuk mengambil  kesimpulan sendiri berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah dan untuk menggunakan bacaan mereka atas sumber-sumber ini sebagai standar untuk menilai adat-istiadat sosial dan keagamaan yang berlaku pada masa mereka.[5]
      Muhammad ibn Ali Al-Syawkani (1760-1834), yang terpisah satu generasi dengan Syah Wali Allah, memperlihatkan pandangan serupa meski lebih ekstrem mengenai persoalan taklid dan ijtihad. Syah Wali Allah dan Al-Syawkani mewakili tahap awal kemunculan spectrum modern pndekatan terhadap autoritas keagamaan. Desakan yang menyebabkan mereka menekankan kembali keilmuan hadis merupakan isyarat kecil bakal terjadinya kekacauan sosial dan politik yang dalam dua abad berikutnya, berkali-kali mendorong para pemikir Muslim untuk meneliti dan memikirkan kembali tradisi mereka. Pada prinsipnya, Syah Wali Allah dan Al-Syawkani banyak mengikuti pola para pembaru abad kesembilan belas dan kedua puluh. Dalam menghadapi krisis dan perubahan,mereka mencari hadis untuk melandasi penyelesaian yang relevan dengan dilema di zaman mereka. Bagi para pemikir ini, litaratur hadis sendiri tampaknya menawarkan keluwesan yang tengah mereka cari. Mereka mnggunakan autoritas hadis untuk menantang kewenangan ajaran yang telah diterima. Banyak diantara para penerus mereka di abad kesembilan belas mengambil dan memperbaiki pendekatan yang serupa; yang lainnya, dimulai dengan Sayyid Ahmad Khan, merasa perlu melangkah lebih jauh, menjadikan literature hadis sendiri sebagai bahan penelitian cermat.[6]      







BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Berbagai kontroversi seputar sunnah, baik yang kuno maupun modern, harus dipandang sebagai akibat wajar yang esensial dari upaya orang Muslim untuk menyesuaikan doktrin terhadap perubahan keadaan. Karena sunnah merupakan sumber kesinambungan dengan masa lalu, taka da perselisihan ajaran, taka da kontroversi hokum, taka da pembahasan tafsir, yang dapat dilakukan tanpa merujuk kepada sunnah. Bahkan bagi mereka yang mencoba menolak kewenangan sunnah, sunnah terbukti begitu penting untuk diabaikan. Disinilah letak hubungan antara perdebatan kuno dan modern mengenai sunnah, dan pentingnya perdebatan lama bagi studi ini.
Namun, adalah suatu kesalahan serius kalau mnyimpulkan bahwa perhatian Muslim modern terhadap pertanyaan mengenai hadis Nabi Saw, semata-mata merupakan reaksi terhadap kolonialisme. Pola peninjauan ulang hadis sebagai alat untuk beradaptasi dengan perubahan telah tertanam baik sebelum orang-orang Muslim merasakan dampak langsung dari hegemoni Barat. Perhatian masa kini terhadap masalah autoritas Nabi Saw, berkaitan dengan kecenderungan yang telah berlangsung sebelum dirasakannya tantangan khusus dari Eropa.











DAFTAR PUSTAKA

Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam IslamModern, Bandung: Mizan Media Utama, 2000.



[1] Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam IslamModern, (Bandung: Mizan Media Utama, 2000), h. 18.
[2] Ibid, h. 19.
[3] Ibid, h. 20.
[4] Ibid, h. 21.
[5] Ibid, h. 38-39.
[6] Ibid, h. 43-44.

Komentar

Postingan populer dari blog ini